Category Archives: buku parenting

Hegemoni Nilai Melalui Produk Berorientasi Anak

Makin meluasnya informasi tentang manfaat stimulasi bagi anak usia dini, menimbulkan dampak baru yaitu makin menjamurnya produk-produk yang menjadikan anak-anak sebagai objek pasar. Film, buku cerita, mainan, mode pakaian, bermunculan dengan segenap kreativitas yang kian berkembang. Hal yang perlu dicermati adalah seberapa aman produk-produk tersebut bagi anak-anak kita, terutama dalam membentuk paradigma nilai pada pikiran mereka.

Bagi keluarga yang menjunjung tinggi penanaman nilai-nilai kebaikan sejak dini, tolok ukur bagus atau tidaknya sebuah produk tentu bukan semata karena mengandung unsur kecerdasan intelektual, keindahan, dan hiburan, melainkan juga dipastikan bebas dari pengaruh-pengaruh yang merusak akhlak anak-anak. Teori stimulasi sebenarnya bisa menjelaskan hal ini agar kita menjadi semakin paham.

Dampak Stimulasi
Stimulasi atau rangsangan yang diberikan pada anak usia dini secara terus-menerus ibarat membuat ukiran di atas batu. Kita semua tentu tahu bahwa butuh waktu yang lama untuk mengukir gambar di atas batu hingga kita bisa melihatnya dengan utuh. Namun, ketika gambar itu sudah berhasil terukir sempurna, ia akan tertoreh lama, sulit dan bahkan nyaris mustahil untuk dihapus.

Hal itu adalah gambaran, betapa kuatnya dampak stimulasi yang dilakukan konsisten pada anak-anak. Meskipun hanya sebuah kebiasaan kecil, misalnya cara makan dan memilih makanan, cara berpakaian, cara menyikat gigi, cara memilih bacaan, atau memilih jenis tontonan, jika dilakukan secara terus-menerus maka lambat tapi pasti akan menjadi kebiasaan mereka yang melekat hingga dewasa.

Mengingat hal tersebut, maka tidaklah berlebihan jika orang tua semestinya menjadi sangat memperhatikan apa-apa yang dicerna oleh anak-anak, baik makanan fisik maupun makanan akal, baik yang sengaja diberikan maupun yang tidak sengaja terpapar dari lingkungan sekitar.

Anak-anak balita belum bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka membutuhkan orang tua untuk memilihkan input yang baik dan menyingkirkan input-input ‘sampah’ yang mungkin meracuni.


Satu hal yang perlu disadari, pembuatan produk-produk yang merusak nilai bukanlah sebuah kebetulan. Hal itu adalah bagian dari upaya-upaya syaitan untuk menyesatkan manusia. Dan shaitan menjadikan segelintir manusia yang menyukai kemunkaran sebagai “agen” untuk menyebarkan kerusakan tersebut melalui berbagai cara dan media. Itulah contoh proses *hegemoni.

Adapun teori tentang belajar yang berkembang akhir-akhir ini mengingatkan kita, bahwa pintu masuk yang efektif untuk mentransfer pengetahuan adalah segala sesuatu yang paling digandrungi (dan bagi anak-anak masa kini, nampaknya mainan, film, dan media audio-visual masih jadi urutan teratas favorit mereka). Hal itu sepertinya sangat dipahami para penyebar keburukan dan semestinya juga disadari oleh para kreatif yang lurus. Lewat sesuatu yang disukai, sebuah produk akan digunakan berulang-ulang dan saat itulah terjadi proses stimulasi nilai dan kebiasaan secara tidak sengaja.

Sepintas lalu, film-film yang tokohnya anak-anak, dengan cerita dan setting yang menakjubkan bagi anak-anak memang hanya layaknya sebuah film. Namun sesekali cermatilah, beberapa film produksi Barat yang mengenalkan dunia sihir misalnya, di mana tokoh utamanya digambarkan santai saja saat meminum darah hewan atau memakan potongan jari manusia. Tidakkah kita berpikir bahwa sebenarnya ada proses transfer nilai di dalamnya? Dan jika anak-anak begitu sering menonton tayangan semacam itu, lama-lama mereka bisa mengadopsinya dan minimal menjadi permisif dengan perbuatan seperti itu.

Memang untuk sampai pada tahap mencetak paradigma butuh waktu yang tak sebentar, tapi tentunya kita tidak mau, anak-anak kita menjadi sasaran penyebaran pengaruh buruk, sekecil apapun itu. Karena jika dibiarkan, sangat mungkin suatu hari mereka menganggap keburukan sebagai hal biasa, dan hilanglah sikap kritis mereka. Mari peduli!

Catatan:
*Hegemoni adalah upaya kelompok tertentu untuk menguasai kelompok lainnya melalui cara-cara yang halus (tanpa ancaman kekerasan), dan kelompok yang menjadi sasaran tunduk dengan kesadaran (tanpa perlawanan) karena nilai-nilai yang dianut kelompok penguasa sudah tertransfer tanpa sadar dan diterima sebagai kebenaran oleh kelompok sasaran.