Mendidik Anak Laki-Laki

Di sebuah radio swasta di Bandung sering diperdengarkan kisah seorang doktor di bidang fisika yang sikapnya begitu bersahaja. Beliau tak hanya cerdas di bidang fisika namun juga sangat peduli dengan pekerjaan rumahan yang biasa dilakukan istrinya. Beliau bahkan pernah terlambat menghadiri sebuah rapat hanya karena ingin membantu istrinya mencuci baju.

Tulisan ini mungkin sekedar refleksi dari saya pribadi terhadap pengalaman berinteraksi dan melihat fakta, bahwa kebanyakan laki-laki dewasa ternyata kurang peduli dengan masalah-masalah domestik (rumah). Pekerjaan itu sepertinya dilimpahkan secara konvensional kepada kaum hawa, padahal saya sendiri merasa bahwa hal itu tidak proporsional dan sesungguhnya kurang baik untuk sebuah sinergi antar jender, terutama bagi pasangan yang sudah menikah.

Bukankah ketika suami sakit, dijamin bahwa mereka akan dirawat dengan baik dan keperluan akan makanan dan minuman khas orang sakit juga siap di meja. Nah, ketika istri sakit, apa yang terjadi? Pasti suami kelabakan. Membuat bubur nggak bisa, membuat teh manis nggak bisa, membuat sayur bening apa lagi, dan bahkan mengompres pun tak biasa. Lucunya, layanan seperti itu sudah sering ia dapatkan; namun karena tak biasa dilakukannya, pengetahuan yang kelihatan remeh itu seolah begitu rumitnya.

Pendidikan masa kecil saya anggap sebagai penyebab paradigma pembagian kerja yang absolut itu terbentuk pada diri seseorang. Betul bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki ciri biologis yang khas yang membuat masing-masing memiliki tanggung jawab yang khas pula. Akan tetapi, dalam pikiran saya pembagian yang khas itu hanyalah berlaku pada wilayah-wilayah tertentu, dan tidak selebar seperti yang hari ini saya saksikan.

BACA JUGA:   Membuat Anak Cinta Belajar

Mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, memasak air, atau menyuapi anak, memandikan anak, membersihkan kamar mandi; menyeduh teh, susu, kopi, dan banyak pekerjaan domestik lainnya kini masih didominasi kaum ibu. Para ayah dan anak laki-laki, tinggal siap menerima ruangan yang rapi, baju yang bersih dan rapi, secangkir teh di meja, kamar mandi yang nyaman, makanan siap santap, dan segudang hal hasil pekerjaan para ibu, anak, atau adik perempuannya.

Pemilahan pekerjaan domestik secara absolut memang sudah lazim. Laki-laki dan bahkan perempuan sendiri seolah sudah menerimanya sebagai sebuah kodrat alam yang tak perlu ditolak. Kelelahan luar biasa akibat pekerjaan domestik yang tak pernah ada habisnya itu pasti adakalanya membuat kaum perempuan mengeluh atau akhirnya ‘terkapar’ tanpa kata-kata. Namun nyatanya semua harus terus begitu dan begitu, sehingga perempuan pun akhirnya menerima hal itu sebagai takdir. Namun sungguhkah memang begitu seharusnya?

Satu hal yang menarik, ketika kini sudah banyak laki-laki dari kalangan terpelajar yang mulai memahami substansi perbedaan jender, dan menjadi peduli dengan kelelahan istri atau ibu mereka dalam mengurus rumah, banyak di antara mereka tak bisa membantu secara maksimal karena kebiasaan yang sudah terlanjur terbentuk di dalam keluarganya di masa kecil. Kasihan melihat istri berulang kali mencuci piring, namun banyak suami tak juga bergerak ketika tumpukan piring mulai menggunung, kecuali hanya bergumam, “Duh kasihan ya istriku..”. Mau bagaimana lagi, kepeduliannya pada sang istri masih belum bisa mengalahkan ketidakbiasaan yang sudah bertahun-tahun terbentuk.

BACA JUGA:   Berbagi Peran dalam Mendidik Anak

Meskipun tipikal anak laki-laki memang cenderung malas, seenaknya, dan atraktif, namun saya percaya, hal itu bukanlah alasan untuk membiarkan anak laki-laki bertindak semaunya dan melimpahkan pekerjaan pada ibu atau saudara perempuannya. Saya sendiri merasa bahwa sudah saatnya tradisi yang kurang proporsional itu diubah demi kebaikan anak-anak kita dan juga cara berpikir mereka setelah dewasa. Saya sendiri bertekad untuk mendidik anak laki-laki saya, tidak hanya kuat secara fisik, namun juga peduli pada pekerjaan rumah, sehingga kelak ia akan menjadi partner yang ideal bagi istrinya, ayah yang penuh teladan bagi anak laki-lakinya, dan ayah yang menimbulkan rasa aman bagi anak perempuannya (Semoga ya…).

Bagaimana Prakteknya?
Libatkan anak laki-laki dalam berbagai pekerjaan domestik bersama-sama dengan saudara perempuannya; misalnya menyapu, merapikan mainan, memunguti sampah, mengelap meja yang basah, menyimpan gelas di dapur setelah dipakai, dll. Meski awalnya hanya sebagai latihan dan bahkan permainan, namun hal itu sedikit demi sedikit akan membentuk persepsi anak laki-laki menjadi lebih terbuka terhadap pekerjaan tersebut.

Hal yang justru paling penting adalah keterlibatan ayah. Walau bagaimanapun anak-anak akan cenderung meniru kelakuan dan kebiasaan orang tuanya daripada mendengar perintah atau ceramah. Walaupun ibu berusaha agar anak laki-lakinya terbiasa dengan pekerjaan domestik, namun jika ayahnya terlihat selalu ongkang-ongkang kaki saat ‘pelajaran’ itu berlangsung, yakinlah anak akan lebih meniru ayahnya. Pada akhirnya, kekompakan ayah dan ibu dalam mendidik anak adalah kunci suksesnya pendidikan itu sendiri.

Yang Juga Tak Boleh Dilupakan
Anak laki-laki memiliki ciri khas fisik yang cenderung jauh lebih kuat daripada anak perempuan. Namun saya banyak melihat, pendidikan dalam keluarga yang ‘memanjakan’ anak laki-laki dalam hal pekerjaan domestik bahkan sering melebar pada pekerjaan khas laki-laki itu sendiri. Akibatnya, banyak pula laki-laki dewasa, terutama di perkotaan, yang mungkin tak kenal apa itu palu, paku, obeng, tang, sendok tembok, gergaji, cangkul, sekop, memperbaiki genteng bocor, mengecat, mengganti pipa air, dll. Mungkin bisa saja pekerjaan-pekerjaan semacam itu diorderkan pada orang lain, tapi apa salahnya juga untuk sedikit lebih tahu, sehingga untuk kasus kran air yang lepas misalnya tak usahlah memanggil ‘tukang’.

Maaf, mungkin tulisan ini sedikit mengganggu bagi rekan-rekan yang memiliki cara pandang yang berbeda. Sekali lagi, ini hanya sebuah refleksi pribadi. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang terus ‘tumbuh’ di atas prinsip belajar tanpa akhir.

Salam pendidikan!

x

3 thoughts on “Mendidik Anak Laki-Laki

  1. PutriPutri

    aku juga nggak setuju dgn pendapat “anak laki nggak boleh masuk dapur”, 2 anak lelaki ku selalu ngotak-atik dapur & perlengkapannya. begitu si sulung masuk SD & memilih HE, dia & teman2nya juga aku libatkan di dapur, mulai dari mengulek bumbu sampe mencuci piring. ayahnya juga memberi contoh dengan mengambil jatah cuci piring & setrika saat pembantu pulang kampung. Hari gini anak laki nggak masuk dapur? apa kata dunia?!?!?!?

    Reply
  2. yulliermiyulliermi

    Alhamdullillah… 3 putra saya, ketika saya masak enak mereka, bertanya kapan mama masak ini lagi? memangnya kenapa jawab saya… mereka berkata “Beri tahu saya, saya akan bantu mama dan inggin tahu cara memasaknya”. ketika saya keluar rumah tidak bisa menyelesaikan tugas2 rutin saya, sesampa dirumah kembali keadaan rumah sudah rapi dan saya dpat menyantap hasil karya mereka…. Alhamdullillah, memang pigur ayah juga sangat mendukung perkembangan anak

    Reply
  3. YeannaYeanna

    Alhamdulillah, walaupun tanpa PRT, anak laki-laki saya yg berusia 13 tahun sudah bisa membantu saya menyapu, mengepel, memasak nasi, bahkan mengurus adik kembarnya yang berusia 9 tahun dengan baik, setiap hari sampai saya pulang dari kantor. Hal ini sudah saya latih sejak dia berusia 9 tahun. Bahkan sejak usia 9 tahun dia sudah bisa menggoreng telur sendiri, tentunya melalui proses pembekalan sedemikian rupa tentang cara-cara menghidupkan kompor dengan aman.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *